Minggu, 08 Mei 2016

Perlindungan Konsumen beserta Contoh Kasusnya

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. ”konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Secara umum dikenal 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: 
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani terlebih terhadap barang dan/ atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha yang berisiko sangat tinggi. Diperlukan adanya pengawasan secara ketat yang harus dilakukan oleh pemerintah. 

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right tobe informed)

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar baik secara lisan, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang). Hal ini bertujuan agar konsumen tidak mendapat pandangan dan gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. 

3. Hak untuk memilih (the right to choose)
Konsumen berhak untuk menentukan pilihannya dalam mengkonsumsi suatu produk. Ia juga tidak boleh mendapat tekanan dan paksaan dari pihak luar sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk membeli atau tidak membeli. 

4. Hak untuk didengar (the right to beheard)
Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lemabaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen.

Ketentuan kewajiban konsumen dapat kita lihat dalam Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha.

Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian ”pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada pelaku usaha diberikan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPK. Hak Pelaku Usaha adalah: 

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beriktikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yakni: 

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/ jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 

CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
INDOMIE DI TAIWAN
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Analisis kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.
Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:
·         Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
·         Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
·         Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
·         Pasal 7  ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.
Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut.
Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.
Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali. Berarti kan (Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.

Daftar Pustaka :

https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar